Ruh Saintis Jadi Bagian dari Gerakan Kebudayaan di Makara Art Center UI

Ketika berbincang mengenai pelestarian kebudayaan Indonesia, generasi post Gen Z boleh jadi merasa gundah. Pertanyaan yang biasanya muncul adalah bagaimana dan siapa yang bakal mengambil peran melestarikan khasanah budaya kita di tengah gempuran budaya dari luar. Pertanyaan ini tak jarang muncul saat momen Peringatan Sumpah Pemuda.

Kebudayaan memang memiliki makna yang penting dalam berbangsa dan bernegara. Budayawan Dr. Ngatawi Al Zastrouw yang kini mengemban amanah sebagai Kepala Makara Art Center (MAC) Universitas Indonesia menyatakan, yang merajut dan menumbuhkan semangat Sumpah Pemuda adalah kebudayaan dan seni. Bahkan, menurutnya, kebudayaan ini seperti oase yang mempertemukan sumber-sumber mata air jernih yang berasal dari agama, hadits, dan nilai

Jika kebudayaan tidak dilestarikan, maka dikhawatirkan bakal melunturkan jati diri anak bangsa. Namun, kegundahan mendadak sirna usai berbincang dengan salah seorang punggawa penjaga budaya Indonesia Al Zastrouw. Menurutnya, kita tidak perlu khawatir, karena genetika anak kita adalah genetika nusantara.

“Memang orang tua sering khawatir, takut. Padahal anak-anak muda sekarang itu taste of tradition-nya tinggi lho. Nah tugas kita tinggal membuka genetika budaya ini, dengan cara pola dan bahasa yang tepat, kalau itu ketemu, dia udah jalan sendiri,” tuturnya.

Ia mencontohkan kemunculan fenomena Sahabat Ambyar. Disusul munculnya konten anak-anak muda di sejumlah media sosial yang menggali, meng-create tradisi-tradisi, dan nilai-nilai lokalitas. “Itu luar biasa.Tugas kita bukan mengarahkan ya, tapi membuka. Membuka gen kultural ini secara tepat,” ucapnya.

Meski “tinggal membuka”, tugas ini tidak mudah menurutnya. Perlu strategi yang efektif dan akurat. Lebih lanjut ia menyatakan, ada tiga strategi untuk membuka genetika budaya pada generasi muda. Pertama adalah, anak-anak harus mengerti tradisi terlebih dahulu atau sebagai source of art. Kedua mereka diajak mengasah skill-nya untuk meng-create melakukan kreatifitas.

Sebagai contoh, anak-anak sanggar di Bali, melakukan transformasi wayang, menjadi wayang elektrik, wayang mika. Jadi, wayang itu dikreatifitaskan dengan memanfaatkan unsur-unsur IT dan teknologi yang modern.

“Mereka bisa melakukan itu karena ada passion. Passion mereka tumbuh karena mereka paham sehingga mereka bisa meng-create itu. Di Jogja hal yang sama juga terjadi,” ujarnya.

Selanjutnya, ketiga adalah dengan advokasi. Untuk advokasi ia membagi menjadi dua, pertama advokasi positif (aktif). Advokasi ini dengan melakukan streaming terhadap karya-karya mereka yang sudah mengkonstruksi, mengaktualisasi. “Kita kasih waktu pentas, kita kasih untuk tempat berekspresi dan ruang eksistensi.”

Selanjutnya advokasi negatif (pasif). Advokasi ini mendorong dan memfasilitasi mereka agar bisa mengembangkan kreativitasnya.

Strategi untuk gerakan kebudayaan

Sebagai seseorang yang diberi kepercayaan mengepalai Makara Art Center UI, Al-Zastrouw memiliki ruang yang luas untuk menetapkan strategi yang persisten serta menjadikan Makara Art Centre sebagai jembatan (bridging) tradition culture to young generation.

Strategi ini diejawantahkan dalam visi dan misi yang bernas, yakni Makara Art Center UI akan menjadi ruh saintis. Pendeknya, Makara Art Center UI akan menjadi bagian dari gerakan kebudayaan, bukan sekadar gerakan seni.

“Dengan demikian Universitas Indonesia menjadi part excellence di gerakan akademi yang berkebudayaan. Untuk mencapai spirit tersebut, lantas diturunkan menjadi visi lembaga Makara, yakni menjadi gerakan akademik spiritual. MAC suatu lembaga yang mendukung kegiatan yang ada di kampus dengan pendekatan dan pola yang lebih berkebudayaan, tidak hanya berkesenian,” ujar seniman yang telah melahirkan banyak karya ini.

Untuk mengaktualisasikan visi-misi tersebut, ujar Al-Zastrouw, ada tiga pola yang dilakukan Makara Art Center UI. Pertama adalah penelitian dan kajian. Ini sebagai upaya untuk mengembangkan atensi pemikiran dan kreativitas di bidang kebudayaan melalui penelitian hingga diskusi-diskusi produktif dan lain sebagainya. Kedua adalah pelatihan, dan ketiga adalah berbagai pementasan. “Jadi integrated, ya, bukan hanya ada pementasan, tapi juga ada kajian-kajian dan workshop,” ujarnya.

Salah satu yang dilakukan belum lama ini adalah, mengundang komunitas-komunitas adat dari Garut untuk melakukan Upacara Sedekah Hutan. Upacara Sedekah Hutan adalah tradisi kearifan lokal untuk merawat, menjaga, dan mengembangkan alam ini.

“Ternyata ada tradisi bagaimana merawat, menjaga, dan mengembangkan alam ini dengan kearifan lokal. Mereka dua hari di sini, melakukan ritual. Mulai dari mencari air tujuh sumber, terus keliling hutan dengan yang kita sebut tahayul, macam-macam, gitu, ya. Tapi itu mantra-mantra dibaca, ada sesajen dipenuhi, mereka melakukan ini semua,” ucapnya.

Kegiatan yang dilakukan tersebut, diamati lalu dianalisis secara akademik dengan melibatkan lintas ilmu.

“Saya undang antropolog, sosiolog, ahli ilmu budaya, ahli geografi untuk memberikan tafsir secara akademik terhadap ritual sedekah hutan ini. Tafsirnya secara akademik, misal dari segi geografis, mereka akan melihat bagaimana alam, tumbuhan, tanah, kontur, struktur di sini kayak apa, dan bagaimana orang itu memperlakukan itu. Mereka akan mengamati dari segi geografis kearifan lokal ini punya makna apa dan punya fungsi apa,” katanya.

Setelah melakukan kegiatan tersebut, dapat ditarik benang merah bahwa tradisi kearifan lokal ternyata bisa dianalisis secara akademik. “Maka setelah kegiatan itu, saya menyebutnya ada dua tafsir. Satu tafsir akademik, dan kedua tafsir religi atau spiritual.

Ia pun mencitakan, dari kebudayaan ini akan melahirkan mazhab baru di bidang pengetahuan, misalnya Mazhab Depok. Mengingat kita memiliki banyak karya, banyak tradisi. “Tradisi di mata saya sebagai pengelola Makara, adalah sebagai soft of knowledge dan sebagai referensi hidup, sehingga kita bisa menggali dari situ,” ucapnya optimis.

Sebelum mengemban tugas sebagai Kepala Makara Art Center UI, Al-Zastrouw telah memiliki ide, bahwa kampus bisa menjadi salah satu pusat gerakan kebudayaan. Sebelumnya, ia pernah mengajar sosiologi agama di FISIP UI (2008-2010).

Saat bertemu dengan Wakil Rektor bidang Akademik dan Kemahasiswaan UI, Prof. Dr. rer nat. Abdul Haris, ia menyampaikan ada empat pilar menjadikan kampus sebagai part excellence di gerakan akademi yang berkebudayaan. Pertama adalah masjid, dua asrama, tiga Makara, dan keempat adalah materi pendidikan agama khususnya Agama Islam. “Ini baru gerakan kebudayaan bisa oke, karena yang melawan dan anti-anti kebudayaan itu bisanya kaum formalis dan puritan,” ucapnya.

Cita-cita besar tersebut, ungkapnya akan terwujud, jika empat pilar untuk menjadi acuan bisa dirajut, serta bukan hanya membuat program, atau kegiatan, tetapi juga gerakan.

Sehingga tak heran saat mandat di tangannya, dengan cekatan ia menyusun berbagai program, kegiatan, serta gerakan untuk menghidupkan Makara Art Center UI.

Ia mengenang, saat masuk menjadi pimpinan Makara Art Center UI bertepatan dengan Covid-19 melanda. ”Saya masuk Februari, Maretnya kan pandemi Covid-19. Padahal kita kerja di kebudayaan, di kesenian kan kerjanya kumpulin orang. Maret pandemi, April sudah puasa padahal saya sudah merancang mau bikin event,” tuturnya mengenang awal bertugas menjadi Kepala Makara Art Center UI.

Masa sulit tersebut akhirnya disiasati dengan adanya media zoom. ”Kita per-zoom saja. Jadi kita buat event Tadarus Budaya Ramadhan waktu itu, lewat online. Jadi dua tahun kita online dan 2021 kita sudah mulai buka.”

Meski ruang gerak masih terbatas, saat itu Makara juga merintis komunitas dan Desa Binaan di Garut, bahkan hingga 12 komunitas adat. Terhadap desa binaan tersebut, di bawah pimpinannya, Makara Art Center UI melakukan sejumlah hal. Di antaranya mengeksplorasi tradisi mereka menjadi suatu yang bermakna, hingga meng-create ritual mereka menjadi kesenian yang memiliki kontekstualisasi relevansi dengan kekinian tanpa merusak tradisinya.

“Karena kaum tradisi kan biasanya mekanik. Hanya menjalankan tradisi, hanya baik secara ritual maupun secara verbal. Nah itu kita bina,”.

Makara Art Center juga menggelar sejumlah workshop yang disebutnya workshop event kreatif. Dalam workshop ini dipelajari bagaimana men-develop satu tradisi yang sakral menjadi kesenian yang kontekstual. “Sisi mana yang bisa kita rekonstruksi, dan sisi mana harus kita jaga otentisitasnya,” ujarnya.

Pasalnya, men-develop tradisi sakral menjadi suguhan memang bukan hal yang mudah. “Aku pengalaman dengan Wishnutama. Beliau pernah didemo gara-gara membawa Sisingaan. Dan itu dianggap merusak tradisi. Akhirnya ketemu saya, dan saya bilang Sisingaan sebagai ritual putusan tradisi it’s ok, tidak bisa diubah karena itu ada hitungannya. Tapi Sisingaan sebagai hiburan, nah ini yang bisa di-create menjadi sebuah entertain. Jadi, yang kita bawa ke Sea Games, Sisingaan bukan sebagai ritual tapi as an entertain yang kita develope dari ritualitas ini,” katanya.

Selain workshop event kreatif, ia juga menyelenggarakan workshop event management. Dalam workshop dipelajari bagaimana me-manage event, kuota-kuota yang bisa dijual, mulai dari marketing strategi, sosialisasi, promo, dan lain sebagainya. “Itu kita ajak mereka. Ada di Magelang, Borobudur”.

Produktivitas Makara semakin menjadi usai pembatasan akibat Pandemi Covid-19 pemerintah dicabut. Misalnya saja pada event Hari Anak, dengan menggandeng Gilang Ramadhan digelar suguhan enam dalang bocah, mulai dari tingkat SD, SMP, dan SMA.

MAC bekerja sama dengan PHE (Pertamina Hulu Energi) menggelar obrolan Makara Art Center UI dan PHE mengenai konsep Brown Energy. Obrolan mengupas tentang bagaimana mengembalikan kesuburan tanah. “Karena kalau tanah tidak subur, produktivitas tanah tidak sehat, maka seluruh program PHE tentang green energy itu kurang efektif,”

Makara Art Center UI juga memiliki program rutin namanya Nusantara Berkisah. Sebulan sekali mereka bahas tentang isu-isu aktual yang related dengan kebudayaan. Selain dialog juga disuguhkan pentas kebudayaan. Sejumlah penyanyi legendaris dihadirkan,mulai dari Tri Utami, Dewa Budjana, bahkan para siswa sekolah-sekolah.

Tantangan Lestarikan Budaya

Di tengah peran Makara Art Center UI untuk melestarikan kebudayaan, masih ada tantangan yang perlu dicarikan jalan keluar, yakni belum maksimalnya sinergi dengan berbagai pihak, salah satunya pemerintah. Al Zastrouw menilai, di Indonesia, kebudayaan masih seperti anak yatim yang hidup sendiri dan jalan sendiri.

Atensi politik dinilai belum menganggap kebudayaan sebagai sesuatu yang urgensi atau bukan prioritas sehingga ditangani sambil lalu saja. Padahal sebenarnya bangsa yang maju menurutnya bangsa yang kebudayaannya settle. Karena pada dasarnya yang membentuk character building adalah strategi kebudayaan yang tepat, akurat, dan efektif.

“Saya menginginkan ada strategi kebudayaan yang betul-betul serius, valid, dan kolektif, karena yang bentuk character building itu intinya adalah strategi kebudayaan yang tepat, akurat, dan efektif. Lihat aja Korea. Korea bisa seperti ini 20 tahun yang lalu membikin roadmap strategi gerakannya, padahal dia nggak punya resources culture yang sekuat kita,” ujarnya.

Sebetulnya, menurut Al Zastrouw, Indonesia bisa menjadi bangsa yang bisa bersaing dan berdiri sejajar, karena competitive advantage di kebudayaan. Ia merasakan di luar negeri menjadi sangat percaya diri ketika memainkan konser kesenian. “Jadi, begitu kita ngomong soal teknologi, ekonomi, kita its okay lah kita dengar, tapi begitu kita ngomong soal kebudayaan, mereka langsung angkat topi.“

Dengan peran strategis kebudayaan ini, melalui Makara Art Center UI, ia ingin mengembangkan bersama-sama untuk dapat mewujudkan asa menjadikan Makara Art Centre Universitas Indonesia sebagai ruh saintis. “Karena kebudayaan bisa standing beyond identity, beyond ideology, beyond politics.Sedangkan Makara Art Center UI memiliki peran strategis karena memiliki legitimasi akademik, politik dan sosial,” tuturnya mengakhiri sesi wawancara.

Ditulis oleh Atik Untari dan dimuat di edukasi.okezone.com, berita dapat diakses melalui tautan:
https://edukasi.okezone.com/read/2023/10/28/623/2909855/ruh-saintis-jadi-bagian-dari-gerakan-kebudayaan-di-makara-art-center-ui

Related Posts